A.
SEJARAH PERPUSTAKAAN DIGITAL
Gagasan yang muncul pertama kali sebagai dasar konsep perpustakaan
digital muncul pada bulan Juli tahun 1945 oleh Vannevar Bush. Beliau
mengeluhkan penyimpanan informasi manual yang menghambat akses terhadap
penelitian yang sudah dipublikasikan. Untuk itu, Bush mengajukan ide untuk
membuat catatan dan perpustakaan pribadi (untuk buku, rekaman/dokumentasi, dan
komunikasi) yang termekanisasi.
Selama dekade 1950-an
dan 1960-an keterbukaan akses terhadap koleksi perpustakaan terus diusahakan
oleh peneliti, pustakawan, dan pihak-pihak lain, tetapi teknologi yang ada
belum cukup menunjang.
Pada awal 1980-an fungsi-fungsi perpustakaan telah diotomasi
melalui perangkat komputer, namun hanya pada lembaga-lembaga besar mengingat
biaya investasi yang tinggi. Misalnya pada Library of Congress di Amerika yang
telah mengimplementasikan sistem tampilan dokumen elektronik (electronic
document imaging systems) untuk kepentingan penelitian dan
operasionalperpustakaan.Dari sudut pandang pengguna, komputer bukanlah
bagian dari fasilitas manajemen perpustakaan melainkan hanya pelayanan untuk
digunakan staf perpustakaan.
Pada awal 1990-an hampir seluruh fungsi perpustakaan ditunjang
dengan otomasi dalam jumlah dan cara tertentu. Fungsi-fungsi tersebut antara
lain pembuatan katalog, sirkulasi, peminjaman antar perpustakaan, pengelolaan
jurnal, penambahan koleksi, kontrol keuangan, manajemen koleksi yang sudah ada,
dan data pengguna. Dalam periode ini komunikasi data secara elektronik dari
satu perpustakaan ke perpustakaan lainnya semakin berkembang dengan cepat. Pada
tahun 1994, Library of Congress mengeluarkan rancangan National Digital Library
dengan menggunakan tampilan dokumen elektronik, penyimpanan dan penelusuran
teks secara elektronik, dan teknologi lainnya terhadap koleksi cetak dan
non-cetak tertentu. Selanjutnya pada September 1995, enam universitas di
Amerika diberi dana untuk melakukan proyek penelitian perpustakaan digital.
Penelitian yang didanai NSF/ARPA/NASA ini melibatkan peneliti
dari berbagai bidang, organisasi penerbit dan percetakan,
perpustakaan-perpustakaan, dan pemerintah Amerika sendiri. Proyek ini cukup
berhasil dan menjadi dasar penelitian perpustakaan digital di dunia.
B.
PENGERTIAN PERPUSTAKAAN DIGITAL
Perpustakaan digital adalah perpustakaan yang mempunyai
koleksi buku sebagian besar dalam bentuk format digital dan yang bisa diakses
dengan komputer. Jenis perpustakaan
ini berbeda dengan jenis perpustakaan konvensional yang berupa kumpulan buku
tercetak, film mikro (microform dan microfiche), ataupun kumpulan kaset audio,
video, dll. Isi dari perpustakaan digital berada dalam suatu komputer server yang bisa
ditempatkan secara lokal, maupun di lokasi yang jauh, namun dapat diakses
dengan cepat dan mudah lewat jaringan komputer
. The
Digital Library Initiatives menggambarkan perpustakaan digital sebagai
lingkungan yang bersama-sama memberi koleksi, pelayanan, dan manusia untuk
menunjang kreasi, diseminasi, penggunaan, dan pelestarian data, informasi, dan
pengetahuan.
Saffady mendefinisikan
perpustakaan digital secara luas sebagai koleksi informasi yang dapat diproses
melalui komputer atau repositori untuk informasi-informasi semacam itu.
Millard mendefinisikannya sebagai perpustakaan yang berbeda
dari sistem penelusuran informasi karena memiliki lebih banyak jenis media,
menyediakan pelayanan dan fungsi tambahan, termasuk tahap lain dalam siklus informasi,
dari pembuatan hingga penggunaan. Perpustakaan digital bisa dianggap sebagai
institusi informasi dalam bentuk baru atau sebagai perluasan dari pelayanan
perpustakaan yang sudah ada.
Billington,
pustakawan Library of Congress, dalam Rogers (1994), melukiskan perpustakaan
digital sebagai sebuah koalisi dari institusi-institusi yang mengumpulkan
koleksi-koleksinya yang khas secara elektronik.
Drobnik
dan Monch (dalam Nugroho, 2000) mendefinisikan perpustakaan digital sebagai
sekumpulan dokumen elektronik yang diorganisasikan agar mudah ditemukan ulang
dan dibaca.
Association of
Research Libraries (ARL), 1995, mendefinisikan perpustakaan digital sebagai
berikut:
·
Perpustakaan digital bukanlah kesatuan tunggal.
·
P Perpustakaan digital memerlukan teknologi untuk dapat
menghubungkan ke berbagai sumberdaya.
· Hubungan antara berbagai perpustakaan digital dan layanan
informasi bagi pemakai bersifat transparan.Akses universal terhadap perpustakaan digital dan layanan
informasi merupakan suatu tujuan.Koleksi-koleksi perpustakaan digital tidak terbatas pada wakil
dokumen; koleksi meluas sampai artefak digital yang tidak dapat diwakili atau
didistribusikan dalam format tercetak.
Wahono mendefinisikan
perpustakaan digital sebagai suatu perpustakaan yang menyimpan data baik itu
buku (tulisan), gambar, suara dalam bentuk file elektronik dan
mendistribusikannya dengan menggunakan protokol elektronik melalui jaringan
komputer. Menurutnya, istilah perpustakaan digital memiliki pengertian yang
sama dengan perpustakaan elektronik (electronic library) dan perpustakaan maya
(virtual library)
C. .JENIS-JENIS PERPUSTAKAAN DIGITAL
a. Model Rolands dan
Bawden
Menurut
Rolands dan Bawden, model perpustakaan digital merupakan sebuahcontinuum (rentang
berkelanjutan) dari perpustakaan “biasa”. Model Rolands dan Bawden ini
menggambarkan perkembangan perpustakaan “biasa” ke perpustakaan digital melalui
beberapa tahapan, yaitu
1)
Perpustakaan, di dalamnya terdiri dari gedung, lokasi fisik, ruangan baca, meja
referensi, dan sebagainya.
2)
Perpustakaan elektronik, di dalamnya terdiri dari gedung, lokasi fisik, koleksi
tercetak dan elektronik, ruangan baca, meja referensi, dan sebagainya.
3)
Perpustakaan hibrida, yang di dalamnya terdiri dari gedung, lokasi fisik dan
internet, koleksi tercetak dan elektronik serta digital, ruangan baca, meja
referensi dan referensi maya, ruangan maya (virtual).
4)
Perpustakaan digital, di dalamnya terdiri dari dengan atau tanpa lokasi fisik,
koleksi digital, ruang dan referensi maya.
5)
Perpustakaan maya, di dalamnya terdiri dari tanpa lokasi fisik, koleksi
seluruhnya digital, ruang dan referensi maya.
Dengan pembagian tersebut, apabila kita merujuk pada konsep
perpustakaan digital dari Safaddy, maka konsep perpustakaan hibrida dari
Rolands dan Bawden cocok dengan konsep perpustakaan digital dari Saffady, namun
jika melihat kategori keempat (perpustakaan digital) maka Rowands dan Bawden
menganut konsep perpustakaan digital menurut Arms.
Walaupun Rolands dan Bawden menggambarkan model perpustakaan seperti di
atas, namun sebenarnya keduanya tidak mau terjebak pada perdebatan tentang
bentuk atau lokasi. Keduanya lebih berkonsentrasi pada proses, yaitu
rencana, implementasi dan evaluasi.
Ada dua hal penting dalam model Rolands dan Bawden yang disebutnya
sebagaiconceptual framework, yaitu dunia pemikiran (ide)
dan dunia praktik. Di antara dua dunia ini dihubungkan oleh teknologi.
Dunia ide menunculkan ranah system (menyangkut interaksi manusia-komputer,
perangkat lunak dan arsitektur system), ranah informasional (menyangkut
organisasi pengetahuan, simpan-temu-kembali pengetahuan, dan implikasi bagi
proses transfer informasi) serta ranah social (menyangkut keterampilan dan
keberaksaraan informasi, dampak pada organisasi dan kegiatannya, kebijakan,
peraturan dan perundangan tentang informasi). Maksudnya adalah, keseluruhan
kegiatan perpustakaan sebenarnya merupakan upaya menerapkan teknologi,
khususnya teknologi informasi, di berbagai bidang kehidupan
.
Dalam hal ini, buku juga sebuah
teknologi informasi, tetapi menggunakan mesin cetak (kecuali kalau namanya
“buku elektronik”). Jadi, kalau pun sekarang kita bicara tentang perpustakaan
digital, maka persoalan yang kita hadapi tetap serupa dengan saat pada
pendahulu kita bicara tentang perpustakaan berkoleksi daun lontar, perpustakaan
kertas, atau perpustakaan video, yaitu bahwa perpustakaan adalah sebuah upaya
menghimpun dan menerapkan ide manusia ke dalam praktik dengan menggunakan
teknologi informasi. Kesimpulannya adalah ketiga ranah tersebut terjadi pada
semua perpustakaan karena memang hampir sulit menemukan perpustakaan yang tidak
menggunakan perangkat komputer.
Rolands dan Bawden memang tidak
membedakan secara jelas antara perpustakaan hibrida dengan perpustakaan
digital. Rupanya keduanya agak berat untuk meninggalkan konsep kepustakawanan
konvensional yang juga berperan dalam membangun konsep perpustakaan digital dengan
alasan:
1. Antara dunia praktik
dengan dunia pikiran tidak bisa dipisahkan, dan di antara kedua dunia ini ada
teknologi yang menyertainya, sementara yang dimaksud perpustakaan hibrida
menurut Rowlands dan Bawden adalah masih dipertahankannya gedung, lokasi fisik
+ internet, koleksi tercetak dan elektronik dan digital, ruangan baca, meja
referensi + referensi maya + ruang maya (virtual).
2.
Rupanya Rowlands dan
Bawden masih mempertahankan konsep kepustakawanan (tentang fungsi perpustakaan)
yang menyangkut tiga pilar utama, yaitu ranah social, ranah informasional dan
ranah system.
3. Teknologi menurut
keduanya lebih dijadikan komponen pendukung dunia praktek, walaupun saat ini
teknologi tidak bisa ditinggalkan perpustakaan. Bisa jadi
keduanyamengimplementasikan salah satu hukum kepustakawanan Ranganathan, bahwa
perpustakaan adalah organisasi yang berkembang, salah satunya adalah upaya
mengadopsi kemajuan teknologi tanpa harus meninggalkan prinsip-prinsip
kepustakawanan yang telah ada.
P Pendit
melihat bahwa apa yang dikonsepkan Rolands dan Bawden membantu kita melihat
perpustakaan digital sebagai sistem sosial, bukan melulu sebagai
alat atau teknologi. Server di internet bukanlah perpustakaan digital, demikian
pula sekumpulan CD atau DVD yang berisi aneka informasi bukanlah perpustakaan
digital. Keseluruhan kegiatan, layanan, pengelolaan, penyediaan, dan evaluasi
yang tergambar di atas itulah yang dapat disebut perpustakaan digital
B. Model DELOS
Model DELOS
menggambarkan perpustakaan digital sebagai three-tier frameworkatau
sebuah kerangka dengan tiga pilar, yaitu:
1) Digital
library (DL)
sebagai sebuah organisasi
Menurut
DELOS organisasi ini dapat berbentuk virtual, dapat juga tidak. Yang dimaksud
organisasi yang virtual adalah organisasi yang tidak punya kontak fisik dengan
masyarakat penggunanya dalam bentuk jasa wawan-muka (interface)
sehingga pengguna tidak bisa meraba atau melakukan kontak fisik dengan
perpustakaan (remote libraries).
Hal-hal penting yang
berkaitan dengan model perpustakaan digital DELOS adalah
1. DELOS lebih menekankan
organisasi secara substansial yaitu sebagai sebuah sistem manajerial.
Perpustakaan digital selalu harus secara serius mengumpulkan, mengelola, dan
melestarikan koleksi digital untuk ditawarkan kepada masyarakat dalam bentuk
yang fungsional dengan kualitas yang terukur dan berdasarkan
kebijakan yang jelas. Model DELOS lebih
menekankan “koleksi digital” dengan tujuan untuk membedakan perpustakaan
‘biasa’ dan perpustakaan digital (tidak memasukkan koleksi yang printed). Model DELOS lebih
mengarahkan tujuan pembangunan digital yaitu untuk preservasi koleksi sehingga
koleksi ini nantinya selalu fungsional.
4. Sekiranya masih ada
koleksi yang non digital maka koleksi tersebut harus dikelola dengan berbantuan
computer untuk memastikan agar semua koleksi dapat berfungsi dengan baik untuk
melayani keperluan masyarakat. Jadi model DELOS memandang penting konsep accessable koleksi.
2) Digital
library system (DLS) sebagai sebuah system perangkat lunak
Untuk
membangun perpustakaan digital diperlukan sebuah perangkat lunak yang
fungsional yang disebut dengan “aplikasi”. Perangkat lunak aplikasi ini disebut
dengan Digital Library System, berfungsi untuk mendukung dua kegiatan utama,
yaitu:
untuk Menjalankan
sebuah system yang menjadi fungsi utama (mengumpulkan, mengelola,
menyediakan) informasi digital, termasuk menyediakan akses kepada pengguna, dan
untuk
Mengintegrasikan berbagai perangkat tambahan agar dapat menawarkan fungsi
lain yang lebih spesifik bagi keperluan tertentu.
Sebagai
sebuah sistem perangkat lunak, maka DLS harus berdasarkan pada arsitektur
informasi tertentu untuk mendukung semua fungsi perpustakaan digital di atas
(yakni mengumpulkan, mengolah, dan menyediakan informasi). Secara khusus,
arsitektur informasi DLS adalah arsitektur informasi tersebar (distributed),
yaitu dengan menyediakan link-link ke berbagai sumber informasi lain.
DLS
ini penting untuk mendukung konsep preservasi dan pendayagunaan koleksi yang
ditawarkan DELOS sehingga koleksi digital bisa fungsional.
Berkaitan dengan
system “arsitektur informasi tersebar” ini, Pendit menganalisis empat hal,
yaitu:
1.
Munculnya frasa digital
libraries (bukan digital library), yang berarti perpustakaan
digital “is not a single entity”, perpustakaan digital “requires
technology to link the resources of many”. Dengan demikian perpustakaan
digital memerlukan teknologi untuk menghubungkan berbagai sumberdaya informasi
tersebar, dan inilah salah satu karakteristik perpustakaan digital menurur Tedd
yaitu “Digital libraries exist in distributed networks”.
2. Munculnya peran
pustakawan sebagai information navigator ataucybernavigator.
3. Konsep distributed (ketersebaran
digital) mirip dengan konsep kerjasama antar perpustakaan (library
coorperation) dan pinjam antar perpustakaan (interlibrary loan). Di
sini nampak sekali bahwa Pendit tidak ingin begitu saja melepaskan ikatan
emosionalnya dengan konsep-konsep kepustakawanan pada perpustakaan tradisional.
4. Dalam perpustakaan
digital, walaupun menyediakan link-link yang tersebar namun tetap terintegrasi
dalam satu fasilitas. Pendit menyebutnya sebagai “bhineka tunggal ika”.
3) Digital library
management system (DLMS)
Untuk
membuat sebuah aplikasi seperti DLS di atas, diperlukan sistem perangkat lunak
induk yang dalam model DELOS ini disebut sebagai Digital Library Management
System atau sistem manajemen perpustakaan digital. DLMS tergolong sebagai
perangkat lunak system. Saat ini perangkat lunak yang ditawarkan baik secara
gratis maupun semigratis antara lain DSpace, Greenstone, Fedora, Koha, dan
sebagainya.
Kemampuannya untuk
menghasilkan sebuah system yang memenuhi semua fungsi perpustakaan digital
sebagaimana diuraikan di atas.Sistem mampu memahami
keperluan berbagai pihak yang harus ada di dalam sebuah institusi perpustakaan
digital. Model DELOS ini
merinci empat “pemeran utama” dalam sebuah system managemen perpustakaan
digital, yaitu: DL end-users atau
pengguna perpustakaan digital sebagai pihak yang memanfaatkan fungsi-fungsi
perpustakaan yang sudah digitalisasi. Para pengguna akan melihat perpustakaan
digital sebagai entitas dalam keadaan siap (statefull entity) yang
menjalankan fungsi-fungsi sesuai kebutuhan mereka.
DL designers adalah
para perancang yang, dengan menggunakan pengetahuan mereka, merancang,
menyesuaikan, dan memelihara system perpustakaan digital berdasarkan kebutuhan
fungsional maupun kebutuhan informasi para pengguna. Agar dapat melakukan
tugasnya, para perancang ini berintraksi dengan administrator system dan
pengembang melalui digital library management system.
DL system
administrator atau administrator system perpustakaan digital merupakan pihak
yang memilih dan menetapkan komponen-komponen perangkat lunak yang diperlukan
untuk melaksanakan fungsi-fungsi perpustakaan digital. Para administrator juga
menggunakan DLMS untuk merancang parameter dan konfigurasi system. Tugasnya
adalah mengenali konfigurasi apa yang paling tepat untuk system perpustakaan
digital yang dikelolanya agar dapat menghasilkan luaran yang berkualitas.
DL Aplication
developers adalah pihak yang secara teknis menggunakan DLMS untuk mengembangkan
komponen-komponen pembentuk DLS. Mereka menggunakan berbagai perangkat kerja
yang sesuai untuk mengembangkan fungsi sebagaimana dikehendaki pengguna dan
dirancang oleh administrator dan perancang tersebut.
C . Model OAIS
OAIS (Open Archival Information
system) diusulkan oleh Consultative Committee for Space Data System (CCSDS)
yang didirikan tahun 1982. Model ini merupakan model pengarsipan (archival)
dan menekankan pada fungsi pelestarian atau preservasi. Namun pengarsipan dan
pelestarian di sini bukanlah hanya menyimpan, mengawetkan, atau mempertahankan
bentuk, melainkan memastikan agar informasi selalu tersedia untuk dimanfaatkan
selama mungkin. kata ‘lestari’ di sini berarti tersimpan dan dapat ditemukan
kembali kapanpun diperlukan. Sebab itulah model ini dapat digunakan untuk
pengembanganperpustakaan digital.
Model
OAIS sesungguhnya hendak menegaskan bahwa fungsi sebuah perpustakaan digital
adalah memastikan semua koleksi digital berada dalam status ‘selalu tersedia’.
Menurut model OAIS saripati perpustakaan digital terletak pada kemampuan
teknologi dalam menjamin ketersediaan dan kebergunaan semua koleksi dalam
rentang waktu yang lama, bahkan kalau perlu selama-lamanya selama listrik masih
ada.
Menurut model OAIS,
sebagai sebuah organisasi, perpustakaan digital memiliki tiga bagian atau
unsure yang saling berkaitan yaitu,
1. lingkungan luar atau
eksternal tempat sebuah OAIS berkegiatan. Di lingkungan ini terdapat komponen
produsen, konsumen, dan manajemen.
2. Lingkungan dalam atau
internal yang berisi perangkat, komponen-komponen fungsional, dan mekanisme
keja OAIS untuk menyelenggarakan kegiatan pelestarian.
3. Paket informasi dan
objek yang dicerna (ingested), dikelola (managed), dan disebarkan
(disseminated) Jika suatu perpustakaan menggunakan model OAIS maka perpustakaan
digital adalah institusi yang berada di antara pihak yang menghasilkan
informasi dan pihak yang memanfaatkan informasi itu, serta pihak yang
mengelolanya sebagai organisasi (disebut sebagai pihak “manajemen”).